Bunga Kepala

--

— tulisan ini lahir di kala Mei dan Agustus bertemu di lantai dua, juga dalam rangka menyambut kedatangan sang pemimpin yang selalu ingin didengar.

Ujung kepalaku berbunga, namun mereka tak akan layu, tak akan pula mati. Malam kemarin terasa sunyi, namun langit sedang ramai dan gemerlap. Sarang burung yang selalu kosong diisi dengan bunyi-bunyi sautan manusia.

Untuk apa kita terbang tinggi, jika lupa dimana seharusnya kaki berpijak.

Untuk apa mencari ujung langit, jika yang telah kita miliki adalah pelangi di hadapan mata.

Untuk apa memperlantang suara, jika lirih pun bisa membuat kita tenang.

Untuk apa menanjaki gunung tinggi, jika sungai yang mengalir terasa sangat menyegarkan.

Untuk apa jauh berkelana, jika berujung tak berarah.

Kembalilah, pintu masih terbuka lebar. Sarang burung masih kosong. Bunga kepalaku masih segar. Dengan suara lirih pun, aku masih ada.

--

--