Jadi, mengapa aku dan kita semua bisa memiliki seorang idola dan mengaguminya dengan gigih?

bahiroh adilah
6 min readJan 12, 2023

--

Mari kita awali dengan pertanyaan, mengapa seseorang bisa mengagumi dan mengidolakan seseorang yang lain? Apa yang terjadi pada diri seorang manusia untuk mengidolakan seseorang yang lain? Apa yang disuguhkan oleh seseorang sehingga bisa dikagumi dan diidolakan?

Pertanyaan-pertanyaan di atas berangkat dari keherananku terhadap diriku sendiri yang sedang mengalami yang namanya idolization. Maka dari itu, aku telah mempersediakan diri untuk menjadi bahan refleksi atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Sehingga tulisan ini akan banyak berfokus pada sebab-sebab yang terjadi pada diriku sendiri, yang mungkin saja juga kalian alami dengan bantuan observasi sederhana yang aku lakukan. Dengan kata lain, aku sedang berusaha mencari jawaban sekaligus validasi terhadap apa yang sedang aku rasakan dan alami sebagai seorang penggemar.

Fenomena idolization bukanlah hal yang asing bagi kita semua saat ini. Hampir semua orang pasti memiliki idola masing-masing, seseorang yang dijadikan sebagai panutan dan tuntunan — sebagai catatan, panutan yang dimaksud tentu saja berada di peringkat kedua setelah Rasulullah SAW (masyAllah). Seseorang tersebut bisa jadi orang yang dekat dengan kita sampai dengan selebriti. Namun konteks dalam tulisan ini akan berbicara tentang selebriti sebagai idola.

Seiring dengan percepatan informasi yang semakin masif, fenomena cultural development merupakan salah satu hal yang tidak dapat dipungkiri akan terjadi. Khususnya budaya Korea yang semakin digandrungi oleh masyarakat Indonesia saat ini, bahkan mungkin di antara kalian yang tidak mengikuti tren Korea, setidaknya pernah mendengar verse lagu Gangnam Style atau celetukan yang berbunyi nama salah satu member BTS secara tidak sengaja. Hal tersebut membuktikan bahwa paparan media yang semakin gencar dan industri K-Pop yang juga semakin memperluas pasarnya. Alhasil, tidak salah jika Korea memilih Indonesia sebagai sasaran empuk target pasar mereka dan didukung oleh respon antusias masyarakat Indonesia.

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, fenomena Korean Wave saat ini menjadi bahasan menarik terutama dalam hal mengagumi seorang selebriti (idolization). Rasa-rasanya konten yang berbau Korea sedang banyak-banyaknya dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan, yang salah satunya adalah diriku sendiri. Jika dilihat dari para penggemarnya, ada banyak sekali bentuk dan cara kita mengagumi idolanya, seperti misalnya mengonsumi seluruh karya idola kita, menjadikan foto idola kita sebagai lockscreen di smartphone-nya, menghabiskan uang demi menghadiri konser musik idola kita, atau bahkan pergi liburan ke Korea, dan masih banyak bentuk-bentuk lainnya.

Kembali ke pertanyaan di atas, mengapa seseorang bisa mengagumi dan mengidolakan seseorang lainnya, dan apa yang terjadi dalam diri manusia sehingga bisa membentuk perilaku-perilaku tertentu dalam mengidolakan seseorang? Setiap individu tentunya memiliki latar belakang yang berbeda-beda, sehingga jawabannya akan berupa kemungkinan-kemungkinan yang akan disesuaikan dengan situasi diri setiap individu. Selain tentang persoalan selera dan hal-hal subjektif lainnya, ada beberapa hipotesis yang bisa dijadikan landasan atau acuan kolektif. Hal-hal yang menyertai proses idolization akan menyinggung perihal psikologis seeorang, terutama pada seseorang di usia remaja menuju dewasa. Masa usia tersebut adalah masa dimana seseorang sedang berusaha mengidentifikasi identitas diri, sehingga seseorang cenderung akan mencari panutan atau seorang idola sebagai role model — sekali lagi, perlu diingat, role model nomor dua.

Jika berbicara mengenai panutan atau role model, dalam situasi yang ideal, sosok keluarga bisa menjadi panutan pertama bagi seorang anak. Namun beberapa orang tidak selalu mengalami situasi yang ideal di dalam keluarganya, mereka tidak berkesempatan menjadikan sosok di dalam keluarganya sebagai role model dalam proses identifikasi diri di usia awal dewasa. Sedangkan pada usia tersebut merupakan masa dimana mereka pertama kali meletakkan dirinya di dalam masyarakat yang lebih luas, secara tidak langsung mereka akan mencari petunjuk dan dukungan. Situasi yang tidak ideal seperti itulah yang menggerakkan seseorang untuk mencari panutan di luar keluarganya dan secara bersamaan paparan akan selebriti saat ini sangat mudah diakses dan dikonsumsi. Mereka dengan sendirinya menyeleksi beberapa selebriti yang ditonton untuk dijadikan sebagai panutan atau role model, yang akan memunculkan perasaan kagum atau saat ini biasa disebut fangirling dan fanboying.

Bentuk idolization di atas berperan dalam aspek personal matters, dimana pengidolaannya lebih berfokus dalam pencarian identitas diri melalui seorang selebriti. Ya, benar sekali, hal itu yang aku sendiri rasakan dan baru saja menyadarinya, yang mana adalah hal bagus untuk diketahui dan disadari. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, terdapat hipotesis bahwa mereka — kita, belum benar-benar tuntas dengan sistem dalam keluarga dan merasa terjebak dalam sistem masyarakat yang lebih luas. Melalui pengidolaan tersebut, kita akan melihat nilai-nilai yang dianut oleh selebriti tersebut yang dirasa sesuai dan seiring dengan nilai kita. Ada keinginan tersendiri dalam diri untuk menjadi seperti idola kita, sehingga akan terjadi imitating atau mimicking secara intens dan menjadikannya sebagai salah satu prinsip atau tuntunan dalam proses identifikasi diri.

Namun dalam implementasinya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, setiap individu memiliki kadar idolizationnya yang berbeda-beda. Tidak hanya dengan faktor personal matters dalam upaya membentuk identitas diri, idolization biasanya juga tidak lepas dari yang namanya parasocial relationship, khususnya pada penggemar K-Pop. Parasocial relationship merupakan pengalaman hubungan secara psikologis yang dialami oleh penggemar yang dimediasi oleh media massa. Pengalaman tersebut terjadi ketika penggemar sudah menganggap memiliki hubungan yang cukup intim dengan idolanya, biasa disebut pula dengan imaginary, one-sided, dan virtually relationship. Akhirnya kita sampai pada bagian yang paling membuatku heran terhadap diriku sendiri dalam mengidolakan seseorang.

Adanya fenomena tersebut pun tidak hanya terjadi begitu saja, tetapi ada interaksi yang cukup konstan, misalnya seorang idola akan tanpa henti menyediakan berbagai konten hiburan yang bisa dinikmati oleh penggemarnya. Tak hanya itu, interaksi yang diberikan oleh pada idol K-Pop dikemas sedemikan rupa untuk memuaskan para penggemar — kita semua, sehingga menciptakan intimasi dan romantisme tersendiri. Sensasi intimasi dan romantisme tersebutlah yang disukai oleh para penggemar sebagai pemenuhan antusiasme diri, yang kemudian membentuk parasocial attachment yang dirasakan oleh penggemar terhadap idolanya.

Ketika sudah terbentuk attachment dalam parasocial relationship antara penggemar dan idola, maka — di sinilah titik mula permasalahan sebagai penggemar idol K-Pop — akan terbentuk pula loyalitas. Loyalitas tersebut yang akan berpengaruh pada perilaku penggemar dalam mengonsumsi konten atau karya dari idolanya. Biasanya, loyalitas akan mengarah pada persoalan yang lebih materiil, yaitu membeli barang yang berkaitan dengan idola mereka. Perilaku ownership tersebut merupakan upaya untuk meningkatkan keintiman dengan idola, seolah-olah mereka menjadi atau memiliki sebagian dari idolanya — padahal sama sekali tidak, kita semua hanya memperkaya idola kita dan memiskinkan diri sendiri.

Pembentukan loyalitas tersebut tidak akan lepas dari bagaimana sistem industri K-Pop bekerja melalui penerapan pemasaran trans-media. Pemasaran tersebut melibatkan multiplatform dengan berbagai konsep dan tema storytelling melalui berbagai rilisan. Pola pemasaran tersebut yang menjadi kekhasan bagaimana industri K-Pop bekerja. Berkat pola tersebut, selain dengan hanya mendengarkan karya musik dari idolanya, para penggemar dapat menjadikan idolanya sebagai seorang karakter dengan storyline-nya tersendiri, dan hal tersebut sudah menjadi bagian dari gaya hidup para penggemar. Sehingga para penggemar dapat membentuk fandom (komunitas penggemar) sendiri yang lebih luas dan menjadi penggemar yang lebih terstimulasi dan terikat.

Jika berbicara mengenai perspektif industri bekerja, masifnya budaya Korean Wave khususnya K-Pop didasarkan oleh bagaimana sistem industri mereka yang berjalan sangat sistematis dan juga kompetitif. Mereka secara terus-menerus berusaha menciptakan sesuatu yang baru dan memperluas pasar secara global dengan berbagai upaya dan pola. Hasilnya mungkin bisa kita lihat dengan bagaimana gencarnya paparan K-Pop di berbagai media, merambah ke industri barat dengan munculnya idol group di berbagai talkshow TV Amerika, sampai dengan rangkaian world tour yang akhir-akhir ini semakin membludak. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mulai dari variasi genre musik sampai dengan talenta idol yang dituntut untuk versatile. Sehingga target pasarnya semakin meluas seiring dengan semakin banyaknya pilihan yang disuguhkan. Belum lagi bagaimana idol saat ini berusaha mengaitkan dengan isu-isu tertentu yang dirasa dekat dengan target penggemarnya saat ini melalui musik atau medium karya lainnya, sehingga kembali terbentuk keintiman yang semakin terikat.

Dapat disimpulkan bahwa seseorang bisa mengalami idolization disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain mencari sensasi romantisme dan keintiman sebagai pemenuhan perasaan antusiasme. Faktor yang lebih fundamental adalah proses identifikasi diri karena selebriti menyediakan nilai-nilai tertentu yang bisa ditiru sebagai bagian dari peran role model. Begitupula dengan terbentuknya parasocial relationship, hubunga tersebut dapat mengarah pada dampak yang cukup sehat bagi seseorang, karena hubungan tersebut bisa memperkuat sense of belonging, kepercayaan diri seseorang, dan menjadi lebih optimis. Terlebih lagi dalam situasi pandemi, hubungan tersebut dapat mereduksi perasaan kesepian yang banyak dialami oleh sebagian besar remaja awal dewasa. Namun tak dapat dipungkiri pula, jika kadar dan porsinya berlebihan pun akan dapat mengarah pada dampak yang negatif, yaitu worshiping (extreme idolization). Jika sudah ada pada tahap itu maka proses idolization-nya tidak lagi sehat, karena akan mendorong seseorang berperilaku yang tidak wajar, seperti halnya over purchased, possession, bahkan bisa menjadi lebih egois dan anti-sosial.

Dengan menulis esai ini, aku merasa setidaknya bersyukur karena diberikan kesadaran yang cukup untuk tidak melewati batas pada proses idolization yang aku alami. Aku pun akhirnya menyadari bahwa aku adalah manusia yang seharusnya dewasa, tidak tau apa-apa, tidak tau mau apa dan mau kemana. Setidaknya dengan mengenal sosok G-Dragon yang luar biasa keren itu, dan mengenal Seventeen yang tidak beranggotakan 17 orang itu, menjadikanku sedikit lebih percaya diri dan berkeinginan untuk terus berkarya, apapun bentuknya. Ya walaupun masih ada bingungnya juga…

Jadi, menurut kalian apakah aku harus mengambil S2 untuk membahas topik ini dengan lebih njeru lagi? Hahahaha, bahkan pertanyaan semacam itu aku lempar ke kalian karena bahkan diriku sendiri masih dikaluti oleh kebingungan. Ya gimana ya, mau nanya ke G-Dragon juga agak sulit.

--

--